Minggu, 02 November 2008

Cara Efektif untuk Menerapkan TIK (Sosialisasi Internet di Sekolah : Membuka Jalan Menuju Keunggulan)

by Cho Sung-sun(sunsky39@hanmail.net)
director of TIK Educational Institute (Former Seoul Sungcho Elementary School Principal)

Kekhawatiran TIK hanyalah ‘hangat-hangat tahi ayam’ (a ‘Fad’)
Suatu ketika saya mengadakan seminar bagi para kepala sekolah mengenai “Penerapan TIK dalam pendidikan dan peranan seorang Pejabat Eksekutif Kepala (Chief Executive Official/CEO)”. Mungkin karena seminar itu adalah seminar multimedia menggunakan komputer dan proyektor LCD, setiap peserta sangat tertarik dan mengajukan berbagai pertanyaan. Sebagian terbesar dari pertanyaannya berhubungan dengan peningkatan TIK, memilih dan membeli perangkat lunak, homepage tentang sekolah mereka, dan sebagainya. Tetapi mendekati akhir seminar seorang kepala sekolah bertanya, "Apakah Pendidikan TIK ini akan menjadi sesuatu yang ‘hangat-hangat tahi ayam’ ('a fad')?” Setelah Korea merdeka dari Jepang, bukankah program-program pendidikan baru seperti ‘Program Learning’, ‘Buzz Learning’, dan Pendidikan Audio-Visual semuanya mati setelah diterapkan dalam sistem pendidikan?" Saya dapat katakan bahwa banyak kepala sekolah yang sependapat dengan dia dan menunggu jawaban saya. Saya katakan secara halus tapi tegas, "Pendidikan TIK tidak pernah akan menjadi program yang ‘hangat-hangat tahi ayam’. Dia akan selalu ada selama komputer masih digunakan. Dan lagi, tidak semua program yang telah diperkenalkan telah mati (musnah)."

Tiga unsur dari pendidikan sekolah adalah guru, murid, dan lingkungan (Sarana Pendidikan). Agar berita (informasi) bisa ditransfer atau dikirim diperlukan interaksi antara pengirim (guru) dan penerima (murid). Penyampaian pesan ini adalah bagian dari komunikasi. Tetapi pesan tersebut harus mengandung informasi yang benar yang biasanya tergantung pada media yang digunakan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kelas (pengajaran) yang baik diperlukan media yang berkualitas. Namun demikian, betapapun baiknya kualitas media apabila cara atau teknologi yang dipakai untuk menerapkannya sudah usang, maka tak mungkin bisa melaksanakan pengajaran dengan baik. Media yang diperlukan bagi pengajaran yang baik termasuk dalam kategori lingkungan. Lingkungan pendidikan meliputi tidak hanya media, tetapi juga proses pendidikan, keadaan pendidikan, metodologi pembelajaran, teknologi pendidikan dan teknologi yang digunakan di dalam kelas. Oleh sebab itulah selalu ditekankan pentingnya Lingkungan Pendidikan. Dilihat dari perspektif belajar, guru beserta metode pengajaran yang dipakai hanyalah salah satu faktor penting bagi siswa. Karena itulah penerapan TIK sudah harus menyatu dengan pelaksanaan pendidikan, terutama untuk masa yang akan datang. Dan sekarang, 'penerapan TIK' telah menjadi jembatan antara guru dan murid dalam penggunaan komputer beserta program-program yang terkait. Siswa lebih menyukai penerapan TIK dan penggunaan komputer telah membantu siswa membangun kemampuan mereka untuk hidup dalam dunia informasi baru ini. Oleh karena itu, penerapan TIK dalam sistem pendidikan tidak bisa ‘hangat-hangat tahi ayam’ dan peranan yang dibebankan kepadanya sangat penting.
Penerapan TIK: Seharusnya bukan ‘Pelajaran Meng-klik’ (a ‘Clicking Class’)
Beberapa hari lalu saya diundang untuk mengadakan seminar di sekolah tertentu. Tempat seminar di ruang laboratorium komputer dan saya harus melewati dua lorong serambi panjang. Kelas sedang berjalan dan saya sempat mendengar suara-suara kelas yang sedang belajar ketika berjalan menelusuri lorong tersebut dan saya mencatat sesuatu yang berbeda. Dalam satu kelas saya melihat pesawat TV sedang dioperasikan dan sebagian besar guru sedang mengajar dengan menggunakan komputer. Saya sedang melongok, mencoba melihat apa yang sedang terjadi ketika wakil kepala sekolah dengan bangganya berkata kepada saya bahwa di sekolahnya semua kelas diajar dengan menggunakan TIK. Setelah mempersiapkan untuk seminar tersebut kira-kira 20 menit saya pergi ke ruang kepala sekolah dan dapat melihat di setiap ruang kelas bahwa lingkungannya sama di semua ruang kelas. Mereka semua melihat situs yang ada dalam buku teks, mengikuti petunjuk, dan mengklik tetikus mereka masing-masing. Hal yang sama saya lihat 20 menit sebelumnya ketika saya pertama lewat. Nampaknya guru menganggap kelas ini sebagai 'Penerapan TIK' walaupun dalam kenyataannya mereka hanya melakukan suatu pelajaran 'Mengklik Tetikus'.

Saya melihat bahwa walaupun penerapan TIK telah berjalan selama hanya 2-3 tahun, namun ragam caranya antar berbagai sekolah telah meningkat secara signifikan. Pembentukan jaringan di sekolah-sekolah sudah selesai 2 tahun yang lalu. Kabel TI juga sudah dipasang. Sekolah-sekolah telah mempunyai laboratorium komputer atau ruang multimedia, dan sekarang sedang dibangun ‘Pusat Informasi’. Infrastruktur untuk penerapan TIK dalam pendidikan merupakan prioritas pertama di dunia dewasa ini. Sebagai contoh sekolah Pil-ja (Sekolah Dasar Me-sung Seoul utama), di sana terdapat bermacam-macam cara untuk menerapkan metode mengajar. Salah satu yang paling penting ialah situs Internet dengan membayar atau cuma-cuma bagi guru yang menerapkan TIK. Dewasa ini informasi Internet (cyber) untuk setiap buku teks sudah cukup mapan yang dapat memberikan informasi, misalnya tentang penggunaan dan metode-metode yang sudah mulai digunakan oleh banyak guru. CD-ROM adalah sarana kedua yang paling sering digunakan. Sekarang kecenderungan mendapatkan bahan pengajaran mulai dari peta dinding, slide, TP sampai ke pita video dan CD-ROM. Bahan-bahan auditorial sekarang mulai ketinggalan jaman (kuno). Tergantung pada masing-masing sekolah atau guru, homepage sekolah atau papan buletin untuk setiap tingkat kelas sudah digunakan. Beberapa proyek kerjasama juga sudah dilakukan melalui penelusuran informasi melalui Internet. Di dalam jaringan sekolah, guru-guru menyediakan informasi tentang Internet atau kurikulum mereka. Namun demikian, jikalau penerapan TIK dilakukan hanya karena kecenderungan (trend) umum atau karena guru-guru diharuskan melakukannya, maka hal itu hanya akan merupakan gejala latah saja dan akan terjadi suatu ‘Dampak Balik dari Pengajaran’ ('Reverse Effect of Teaching'). Saya selalu katakan dalam seminar-seminar saya bahwa setiap penerapan media harus dilakukan atas dasar suatu konsep yang jelas. Penerapan TIK di kelas tidak boleh lebih dari 5 menit untuk setiap konsep atau topik bahasan. Meskipun dalam kurikulum, misalnya, ada alokasi satu jam untuk penerapan TIK, harus dijaga jangan sampai terjadi suatu ‘pelajaran mengklik’ ('clicking class'). Sebaiknya kurikulumnya dimodifikasi dahulu demi meningkatkan penerapan TIK.
Kelas Seorang Seniman Yang Mengaplikasikan Karyanya Sendiri
Beberapa tahun yang lalu saya mengunjungi Nagoya, Jepang, dan mendapatkan kesempatan menyaksikan sebuah kelas yang terbuka untuk umum. Kelas itu sedang mengajarkan pokok bahasan dari buku teks Geografi berjudul ‘Bab tentang Oceania’. Suatu kelas biasa yang menggunakan buku-buku teks dan peta. Akan tetapi pengenalan tema kepada siswa di awal pelajaran dan pemahaman guru atas tema ini dengan membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok untuk mendiskusikan topik tersebut adalah suatu keterampilan tersendiri yang dimiliki guru. dalam pelajaran ini guru menempatkan siswa-siswa dalam kelompok-kelompok belajar. Mereka meneliti permasalahan seperti industri, perhubungan, budaya, dan sebagainya yang berkaitan dengan tema-tema mereka masing-masing dan harus menuliskannya pada suatu TP. Di akhir pelajaran, ketua dari setiap kelompok (tim) menyajikan TP dari kelompoknya dalam format penyajian OHP. Guru memberikan tambahan penjelasan dan komentar tentang kualitas, tetapi ketika siswa sedang menjelaskan guru sama sekali tidak menginterupsinya. Setelah setiap tim selesai mempresentasikan, guru memperlihatkan TP yang dia buat sendiri, yang tidak merupakan hal yang luar biasa, dan pelajaran selesai. Penilaian untuk pelajaran itu tidak ada bedanya dengan cara-cara guru-guru Korea melakukan penilaian. Guru melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri, komentar-komentar dibuat tentang kualitas, dan kepala sekolah memberikan beberapa komentar berkenaan dengan cara bagaimana seharusnya guru mengajar. Setiap orang setuju bahwa kelas tersebut menonjol dan puas dengan apa yang mereka saksikan, akan tetapi saya mempunyai satu pertanyaan dan saya tanyakan kepada guru yang mengajar pelajaran tersebut. Saya tanyakan mengapa guru menggunakan bahan yang kurang bermutu yang dia buat sendiri dan bukannya bahan yang bisa dibeli; apalagi jenis bahan semacam itu mudah didapat di Jepang. Guru tersebut dengan serius menjawab pertanyaan saya sebagai berikut. Dia yakin bahwa suatu pelajaran di kelas adalah merupakan suatu hasil karya seni yang mengalahkan batas waktu dan tempat. Sebuah karya seni diciptakan sedemikian rupa, sehingga walaupun sama dengan suatu bab dalam buku teks, namun tidak akan merupakan pelajaran yang sama persis. Jika dia menggunakan TP yang bisa dibeli, maka pelajaran itu akan menjadi tiruan dari sesuatu, bukan asli (orisinil). Untuk apa yang dia katakan itu saya menyanjungnya dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang ‘seniman sejati’.

Dewasa ini sudah banyak pelajaran di kelas yang menerapkan TIK, tetapi media yang digunakan dibuat oleh spesialis di bidangnya (mata pelajaran) atau bahan-bahan yang ada di pasaran yang belum dibuktikan kesesuaiannya. Kita sudah terbiasa mencari cara penyelesaian masalah dengan jalan yang paling mudah. Jika kita ingin menggunakan media TIK, khususnya media cyber, dalam pelajaran di kelas kita seharusnya mencarinya terlebih dahulu atau menciptakan apa yang kita perlukan dengan jalan mengumpulkan bahan-bahan yang berhubungan dengan pelajaran dimaksud. Di masa lalu, guru-guru membuat peta, berkas (files), dan kaset (tapes) sendiri untuk keperluan kelasnya. Meskipun guru-guru mungkin belum terbiasa dengan hal itu, kita perlu membuat bahan sendiri untuk media TIK. Walaupun banyak guru yang mengalami kesulitan memahami komputer dalam waktu singkat, sekarang tibalah waktunya bagi kita untuk menguasai dan meningkatkan keterampilan kita sendiri tentang media. Saya percaya bahwa setiap guru ingin belajar bagaimana menggunakan setidak-tidaknya satu alat (power point, flash, director, photo bank, dsb.) dalam membuat bahan untuk penerapan TIK. Bahan tersebut tidak harus canggih atau mentereng, tetapi bila guru sudah bisa membuat bahan sendiri untuk keperluan kelasnya, maka dia akan dapat mengajarkannya dengan cara yang paling efektif dan pelajaran itu tidak harus menjadi pelajaran dari seorang ‘seniman yang agung’.
▶ Cho Sung-sun(sunsky39@hanmail.net)/ director of TIK Educational Institute(Former Seoul Sungcho Elementary School Principal)

Tidak ada komentar: