Minggu, 21 Maret 2010

INOVASI DI PERPUSTAKAAN SDN 2 ISIMU SELATAN KABUPATEN GORONTALO

Perpustakaan mempunyai peran yang sangat penting dalam memajukan pendidikan suatu sekolah, namun saat ini sulit mengajak siswa untuk berkunjung keperpustakaan, perpustakaan bukanlah tempat farorite bagi siswa. Perpustakaan sekolah- pada banyak sekolah- kehilangan daya tarik siswa lebih tertarik nonton sinetron “Ipin dan Upin” atau main plystation bahkan dikampung saya plystation sudah banyak direntalkan. Sehingga perpustakaan sekolah kehilangan daya tarik hal inilah yang mengusik saya untuk berinovasi mengembangkaan perpustakaan sekolah dengan trik-trik sebagai berikut:

1. Perpustakaan kami lengkapi dengan koleksi buku-buku bergambar untuk kelas rendah.

2. Setiap pagi pada waktu apel pagi siswa diberikan kesempatan untuk bercerita tentang isi buku yang mereka baca, kepada siswa yang bercerita terbaik akan deberi hadiah.

3. Perpustakaan sekolah kami lengkapi dengan Komputer PC Ncomputing multiuser, yang dapat digunakah oleh 6 orang siswa. Komputer ini kami lengkapi dengan software edugame (permainan yang mengandung pendidikan) seperti bebybola, akal, CD pembelajaran interaktif, cd tutorial, e-learning, bank-bank soal produk invir dan masih banyak lagi.

4. Oh ya, untuk mengunakan komputer siswa diwajibkan membaca buku koleksi perpustakaan terlebih dahulu.

5. Kamipun menyediakan ruang yang digunakan untuk belajar kelompok yang dilengkapi dengan proyektor (LCD) dan laptop siswa dapat belajar bersama secara madiri maupun dibawah bimbingan guru . Yang menarik disini adalah siswa laksana berada dalam dibioskop, tentunya cd yang kami gunakan adalah CD pembelajaran produksi Pustekkom dan CD pembelajaran lainya

6. Layanan sirkulasi bahan pustaka sudah menggunakan sistim komputerais.

7. Menyediakan boneka tangan untuk peraga cerita dongeng

8. Pengecatan ruang interior berwarna-warni seperti tempat permainan di mall.

Dengan upaya ini perpustakaan kami tidak sepi terutama pada waktu sore dan siswa kami berprestasi dalam lomba bercerita walau baru juaral III tingkat Prov. Gorontalo.

Rabu, 14 Oktober 2009

Perpustakaan Sekolah Sarana Peningkatan Minat Baca

Perpustakaan Sekolah Sarana Peningkatan Minat Baca
Oleh
Heri Abi Burachman Hakim
Staff Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM
Saat ini minat baca masih menjadi perkerjaan rumah yang belum terselesaikan bagi bangsa Indonesia. Berbagai program telah dilakukan untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Pemerintah, praktisi pendidikan, LSM dan masyarakat yang perduli pada kondisi minat baca saat ini telah melakukan berbagai kegiatan yang diharapkan mampu meningkatkan apresiasi masyarakat untuk membaca, akan tetapi berbagai program tersebut belum memperoleh hasil maksimal
Untuk mewujudkan bangsa berbudaya baca, maka bangsa ini perlu melakukan pembinaan minat baca anak. Pembinaan minat baca anak merupakan langkah awal sekaligus cara yang efektif menuju bangsa berbudaya baca. Masa anak-anak merupakan masa yang tepat untuk menanamkan sebuah kebiasaan, dan kebiasaan ini akan terbawa hingga anak tumbuh dewasa atau menjadi orang tua. Dengan kata lain, apabila sejak kecil seseorang terbiasa membaca maka kebiasaan tersebut akan terbawa hingga dewasa.
Pada usia sekolah dasar, anak mulai dikenalkan dengan hurup, belajar mengeja kata dan kemudian belajar memaknai kata-kata tersebut dalam satu kesatuan kalimat yang memiliki arti. Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk menanamkan kebiasaan membaca pada anak. Setelah anak-anak mampu membaca, anak-anak perlu diberikan bahan bacaan yang menarik sehingga mampu menggugah minat anak untuk membaca buku. Minat baca anak perlu dipupuk dengan menyediakan buku-buku yang menarik dan representatif bagi perkembangan anak sehingga minat membaca tersebut akan membentuk kebiasaan membaca. Apabila kebiasaan membaca telah tertanam pada diri anak maka setelah dewasa anak tersebut akan merasa kehilangan apabila sehari saja tidak membaca. Dari kebiasaan individu ini kemudian akan berkembang menjadi budaya baca masyarakat.
Akan tetapi pembinaan minat baca anak saat ini sering terbentur dengan masalah ketersediaan sarana baca. Tidak semua anak-anak mampu mendapatkan buku yang mampu mengugah minat mereka untuk membaca. Faktor ekonomi atau minimnya kesadaran orang tua untuk menyediakan buku bagi anak menyebabkan anak-anak tidak mendapatkan buku yang dibutuhkan. Tidak tersedianya sarana baca merupakan masalah besar dalam pembinaan minat baca anak. Anak-anak tidak dapat memanjakan minat bacanya karena tidak tersedia sarana baca yang mampu menggugah minat anak untuk membaca. Padahal pembinaan minat baca anak merupakan modal dasar untuk memperbaiki kondisi minat baca masyarakat saat ini.
Untuk mengatasi masalah ketersedian sarana baca anak dapat dilakukan dengan memanfaatkan eksistensi perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah dapat difungsikan sebagai institusi penyedia sarana baca cuma-cuma bagi anak-anak. Melalui koleksi yang dihimpun perpustakaan, perpustakaan sekolah mampu menumbuhkan kebiasaan membaca anak.
Tetapi amat disayangkan, perpustakaan sekolah yang dijadikan ujung tombak dalam pembinaan minat baca anak justru dalam kondisi yang memprihatikan. Bahkan saat ini banyak sekolah dasar yang belum memiliki perpustakaan. Data Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia mengungkapkan bahwa hanya 1% dari 260.000 sekolah dasar negeri yang memiliki perpustakaan (Kompas, 25/7/02). Keadaan ini tentu bertolak balakang dengan Undang-undang nomor 2 pasal 35 tahun 1989 tentang system pendidikan nasional yang menyatakan bahwa setiap sekolah diwajibkan memiliki perpustakaan. ironis bukan, mana mungkin minat baca anak dapat terbina apabila sekolah tidak memiliki perpustakaan yang menyediakan buku sebagai sarana baca bagi siswa (anak).
Walaupun ada sekolah yang memiliki perpustakaan sekolah, perpustakaan sekolah belum dikelola dengan baik. Hanya sekolah-sekolah unggulan dan sekolah yang sadar akan pentingnya perpustakaan, memiliki perpustakaan yang dikelola secara baik oleh tenaga profesional.
Banyak perpustakaan sekolah yang pengelolaanya terkesan “yang penting jalan”. Hal ini terlihat dari segi koleksi, sarana perpustakaan serta tenaga pengolola perpustakaan sendiri. Koleksi perpustakaan sebagian besar berisi buku-buku paket sehingga kurang mampu menarik minat siswa untuk mengakses perpustakaan. Sarana dan prasarana perpustakaan yang seadaanya menyebabkan suasana perpustakaan kurang nyaman. Selain itu banyak perpustakaan sekolah yang tidak dikelola oleh tenaga profesional di bidang perpustakaan, perpustakaan dikelola oleh guru pustakawan (guru yang merangkap sebagai pengelola perpustakaan) yang memiliki tanggung jawab utama sebagai pengajar menyebabkan pengelolaan perpustakaan tidak optimal.
Sudah saatnya kondisi perpustakaan sekolah dasar diperbaiki. Perbaikan ini akan mewujudkan berpustakaan sebagai penyedia sarana baca ideal bagi anak-anak. Perbaikan ini akan memotivasi anak-anak untuk berkunjung dan membaca koleksi perpustakaan. Perbaikan yang dapat dilakukan antara lain, Pertama, koleksi perpustakaan terus ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Sudah saatnya perpustakaan tidak hanya berisi buku-buku paket, koleksi perpustakaan juga dapat berupa buku-buku bacaan yang mampu menarik minat siswa untuk membacanya. Selain itu perpustakaan dapat juga melengkapi koleksinya dengan koleksi audiovisual sehingga tidak memberikan kesan layanan yang monoton.
Kedua, sarana atua perabot perpustakaan perlu dilengkapi, perpustakaan dapat dilengkapi dengan pendingin udara, televisi dan komputer multimedia. Perabotan perpustakaan perlu didesain dan disusun sesuai dengan kondisi fisik anak-anak sehingga dapat memberikan kesan nyaman bagi anak. Ruang perpustakaan juga dapat dicat warna-warni dan dilukis gambar lucu sehingga menghilangkan kesan formil perpustakaan. Dengan perubahan kondisi fisik perpustakaan ini akan memberikan kesan nyaman anak berada diperpustakaan sehingga anak-anak akan rajin datang ke perpustakaan.
Ketiga, masalah SDM perpustakaan juga perlu mendapatkan perhatian. Perpustakaan harus dikelola oleh tenaga yang memiliki keahlian serta berlatar belakang ilmu perpustakaan, dokumentasi dan informasi. SDM memiliki latar belakang ilmu perpustakaan tentu mengerti bagaimana mengelola serta mengembangkan perpustakaan berdasarkan kaidah ilmu perpustakaan. Memberikan tanggung jawab pegelolaan perpustakaan kepada guru perlu dikaji ulang, guru yang memiliki tugas utama sebagai tenaga pengajar tidak akan mampu maksimal dalam pengembangan perpustakaan karena harus membagi waktunya untuk mengajar. Perpustakaan akan tutup apabila guru tersebut mendapat tugas mengajar. Keadaan semacam ini tentu dapat menghambat proses pembinaan minat baca anak.
Keempat, sebenarnya masalah terbatasan koleksi, sarana perpustakaan serta minimnya SDM perpustakaan disebabkan karena keterbatasan dana. Keterbatasan dana menyebabkan perpusakaan tidak mampu membeli buku, melengkapi sarana perpustakaan serta membayar tenaga profesional untuk mengelola perpustakaan. Sebagai solusinya di perlukan perhatian pemerintah, pengelola sekolah serta peran aktif wali murid. Pemerintah perlu memberikan perhatian bagi pengembangan perpustakaan sekolah. Perhatian itu dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian dana bantuan pengembangan perpustakaan sekolah, kebijakan yang merangsang perkembangan perpustakaan sekolah serta penghargaan kepada mereka yang berjasa dalam mengembangkan perpustakaan. Pihak sekolah juga dapat mengoptimalkan keberadaan wali murid yang terhimpun dalam komite sekolah dalam pengembangan perpustakaan sekolah. Wali murid dapat dimintai bantuan dalam hal pendanaan perpustakaan. Tentunya. Wali murid tidak akan segan mengeluarkan biaya bagi pengembangan sekolah karena manfaatkan perpustakaan akan kembali kepada putra-putri mereka. Selain itu pihak sekolah juga dapat menyusun proposal pengembangan perpustakaan dan mengajukannya ke perusahaan, instansi atau individu yang memiliki perhatiaan dibidang pendidikan, minat baca dan perpustakaan.
Dengan berbagai perbaikan diatas maka perpustakaan akan semakin menarik. Perubahan yang menjadi motivasi bagi siswa untuk mengakses perpustakaan. Apabila perbaikan ini dilakukan dari sekarang maka 10 atau 15 tahun kedepan Indonesia akan menjadi bangsa yang gemar membaca. Dengan demikian berakhir sudah permasalahan minat baca yang seolah-olah menjadi perkejaan rumah yang tidak terselesaikan sampai saat ini.

Sabtu, 20 Juni 2009

PERPUSTAKAAN SEKOLAH

PENGEMBANGAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH SDN 4 ISIMU SELATAN
Oleh. Ruwaidah Aliyu, S.Pd

Tulisan ini saya buat menyambut lahirnya Permen Mendiknas No. 25 Tahun 2008. Tentang Standar Perpustakaan Sekolah. Dalam Pasal 2 Permen tersebut berbunyi sebagai berikut "Penyelenggara sekolah/madrasah wajib menerapkan standar tenaga perpustakaan sekolah/madrasah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini, selambat-lambatnya 5 (lima) tahun setelah Peraturan Menteri ini ditetapkan”.

Pada bulan Juli Tahun 2008 saya telah mengangkat seorang tenaga pengelola purpustakaan dan berupaya melengkapi fasilitas perpustakaan. Walaupun kami belum memilki gedung perpustakaan saya berupaya menggunakan satu ruang kelas yang kini merupakan perpustakaan terbaik dan terlengkap di wilayah saya,
Menurut saya perpustakaan sekolah sebagai penunjang utama dalam kegiatan pembelajaran mempunyai sumbangan yang sangat besar nilainya dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan.
Kegiatan belajar yang ditunjang oleh faslitas serta bahan pustaka yang tersedia di perpustakaan akan memberikan pengalaman ganda yaitu dapat mencapai tujuan pengajaran dan kemampuan menggunakan perpustakaan sebagai sumber belajar.
Perpustakaan sekolah merupakan bagian integral dari program sekolah secara keseluruhan, dimana bersama-sama dengan unsur-unsur pendidikan lainnya turut menentukan berlangsungnya suatu proses pendidikan dan pengajaran yang berhasil. Berdasarkan informasi dan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui membaca dan belajar di perpustakaan dapat berfungsi sebagai “gizi intelektual” bagi seluruh kehidupan manusia di kemudian hari dan tentunya pembiasaan haruslah mulai keluarga dan dioptimalkan di Sekolah Dasar.
Saat pengelolaan perpustakaan masih pada tataran kaya retorika dan miskin implementasi, perpustakaan Sekolah Dasar merupakan pondasi pembengunan masyarakat literat, dan ini merupakan tugas berat guru dan pustakawan sekolah menjadikan perpustakaan sebagai laboratorium belajar dimana siswa dapat belajar yaitu mempertajam dan memperluas kemampuan untuk membaca, menulis, berfikir dan berkomunikasi sehingga kelak menjadi pribadi-pribadi yang literat dengan demikian makatercapailah masyarakat literat.
Untuk memanfaatkan perpustakaan sekolah dalam pembelajaran tidaklah mudah, karena dalam pemanfaatan perpustakaan sekolah ada factor penghambat.
Faktor-faktor penghambat dalam pemanfaatan perpustakaan sekolah diantaranya:
1. kurannya pengetahuan guru tentang pembelajaran,
2. kurangnya pemahaman guru tentang konsep pemanfaatan perpustakaan sekolah,
3. padatnya kurikulum di sekolah, kurangnya koleksi bahan pustaka,
4. kurangnya layanan informasi dan referensi,
5. kurangnya prasarana perpustakaan
6. dan adanya keterbatasan waktu pemanfaatan perpustakaan sekolah.

Dengan demikian kunci sukses mengatasi faktor penghambat adalah ditangan kepala sekolah, apalagi saat ini dalam UU No 43 Tahun 2007 telah ditetapkan bahwa setiap sekolah menganggarkan 5% dana dari belanja sekolah (tidak termasuk gaji) untuk perpustakaan.
Berkenaan dengan pemanfaatan perpustakaan, guru perlu memberikan motivasi kepada siswa agar tertarik dan berminat untuk memanfaatkan bahan pustaka yang disediakan di perpustakaan. Guru diharapkan dapat menjadi fasilitator dan memberikan teladan dengan cara memberikan bimbingan kepada siswa agar gemar membaca buku-buku yang diperlukan dan dapat mengembangkan berbagai pengetahuan lainnya diluar materi pelajaran di kelas. Guru sebagai fasilitator mengandung pengertian bahwa guru harus berusaha untuk mengetahui secara pasti kebutuhan sumber-sumber pustaka yang dibutuhkan oleh siswa, guru itu sendiri ataupun kebutuhan dalam pengembangan pengetahuan lainnya yang relevan. Beberapa peran guru sebagai fasilitator dalam optimalisasi peran perpustakaan sekolah diantaranya:
1. Kewajiban untuk dapat menyediakan informasi bahan ajar dan mengupayakan darimana dan bagiamana cara memperoleh sumber-sumber belajar tersebut. Jika guru tidak melakukan perannya dengan baik, maka hal itu akan menjadi salah satu penghambat pemanfaatan perpustakaan sekolah,
2. Guru sebagai kunci pembuka perpustakaan artinya apabila guru tidak berupaya memotivasi siswa untuk memanfaatkan bahan pustaka maka siswa tidak tertarik dan berminat terhadap perpustakaan.
3. Sebagai faslilitator karena guru mengetahui secara pasti sumber sumber buku apa saja yang dibutuhkan oleh siswa. Peran guru sebagai faslitator diantaranya adalah kewajiban untuk dapat menyediakan informasi bahan ajar dan mengupayakan darimana dan bagiamana cara memperoleh sumber-sumber belajar tersebut kepada penyelenggara perpustakaan atapun ke level kepala sekolah.

Kepedulian semua pihak terhadap fungsi perpustakaan sekolah sangat diharapkan agar perpustakaan sebagai jantung di sekolah dapat benar-benar berjalan guna meningkatkan atomosfir pembelajaran dan sebagai tempat pemancaran berbagai pengetahuan di sekolah.

Minggu, 02 November 2008

Cara Efektif untuk Menerapkan TIK (Sosialisasi Internet di Sekolah : Membuka Jalan Menuju Keunggulan)

by Cho Sung-sun(sunsky39@hanmail.net)
director of TIK Educational Institute (Former Seoul Sungcho Elementary School Principal)

Kekhawatiran TIK hanyalah ‘hangat-hangat tahi ayam’ (a ‘Fad’)
Suatu ketika saya mengadakan seminar bagi para kepala sekolah mengenai “Penerapan TIK dalam pendidikan dan peranan seorang Pejabat Eksekutif Kepala (Chief Executive Official/CEO)”. Mungkin karena seminar itu adalah seminar multimedia menggunakan komputer dan proyektor LCD, setiap peserta sangat tertarik dan mengajukan berbagai pertanyaan. Sebagian terbesar dari pertanyaannya berhubungan dengan peningkatan TIK, memilih dan membeli perangkat lunak, homepage tentang sekolah mereka, dan sebagainya. Tetapi mendekati akhir seminar seorang kepala sekolah bertanya, "Apakah Pendidikan TIK ini akan menjadi sesuatu yang ‘hangat-hangat tahi ayam’ ('a fad')?” Setelah Korea merdeka dari Jepang, bukankah program-program pendidikan baru seperti ‘Program Learning’, ‘Buzz Learning’, dan Pendidikan Audio-Visual semuanya mati setelah diterapkan dalam sistem pendidikan?" Saya dapat katakan bahwa banyak kepala sekolah yang sependapat dengan dia dan menunggu jawaban saya. Saya katakan secara halus tapi tegas, "Pendidikan TIK tidak pernah akan menjadi program yang ‘hangat-hangat tahi ayam’. Dia akan selalu ada selama komputer masih digunakan. Dan lagi, tidak semua program yang telah diperkenalkan telah mati (musnah)."

Tiga unsur dari pendidikan sekolah adalah guru, murid, dan lingkungan (Sarana Pendidikan). Agar berita (informasi) bisa ditransfer atau dikirim diperlukan interaksi antara pengirim (guru) dan penerima (murid). Penyampaian pesan ini adalah bagian dari komunikasi. Tetapi pesan tersebut harus mengandung informasi yang benar yang biasanya tergantung pada media yang digunakan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kelas (pengajaran) yang baik diperlukan media yang berkualitas. Namun demikian, betapapun baiknya kualitas media apabila cara atau teknologi yang dipakai untuk menerapkannya sudah usang, maka tak mungkin bisa melaksanakan pengajaran dengan baik. Media yang diperlukan bagi pengajaran yang baik termasuk dalam kategori lingkungan. Lingkungan pendidikan meliputi tidak hanya media, tetapi juga proses pendidikan, keadaan pendidikan, metodologi pembelajaran, teknologi pendidikan dan teknologi yang digunakan di dalam kelas. Oleh sebab itulah selalu ditekankan pentingnya Lingkungan Pendidikan. Dilihat dari perspektif belajar, guru beserta metode pengajaran yang dipakai hanyalah salah satu faktor penting bagi siswa. Karena itulah penerapan TIK sudah harus menyatu dengan pelaksanaan pendidikan, terutama untuk masa yang akan datang. Dan sekarang, 'penerapan TIK' telah menjadi jembatan antara guru dan murid dalam penggunaan komputer beserta program-program yang terkait. Siswa lebih menyukai penerapan TIK dan penggunaan komputer telah membantu siswa membangun kemampuan mereka untuk hidup dalam dunia informasi baru ini. Oleh karena itu, penerapan TIK dalam sistem pendidikan tidak bisa ‘hangat-hangat tahi ayam’ dan peranan yang dibebankan kepadanya sangat penting.
Penerapan TIK: Seharusnya bukan ‘Pelajaran Meng-klik’ (a ‘Clicking Class’)
Beberapa hari lalu saya diundang untuk mengadakan seminar di sekolah tertentu. Tempat seminar di ruang laboratorium komputer dan saya harus melewati dua lorong serambi panjang. Kelas sedang berjalan dan saya sempat mendengar suara-suara kelas yang sedang belajar ketika berjalan menelusuri lorong tersebut dan saya mencatat sesuatu yang berbeda. Dalam satu kelas saya melihat pesawat TV sedang dioperasikan dan sebagian besar guru sedang mengajar dengan menggunakan komputer. Saya sedang melongok, mencoba melihat apa yang sedang terjadi ketika wakil kepala sekolah dengan bangganya berkata kepada saya bahwa di sekolahnya semua kelas diajar dengan menggunakan TIK. Setelah mempersiapkan untuk seminar tersebut kira-kira 20 menit saya pergi ke ruang kepala sekolah dan dapat melihat di setiap ruang kelas bahwa lingkungannya sama di semua ruang kelas. Mereka semua melihat situs yang ada dalam buku teks, mengikuti petunjuk, dan mengklik tetikus mereka masing-masing. Hal yang sama saya lihat 20 menit sebelumnya ketika saya pertama lewat. Nampaknya guru menganggap kelas ini sebagai 'Penerapan TIK' walaupun dalam kenyataannya mereka hanya melakukan suatu pelajaran 'Mengklik Tetikus'.

Saya melihat bahwa walaupun penerapan TIK telah berjalan selama hanya 2-3 tahun, namun ragam caranya antar berbagai sekolah telah meningkat secara signifikan. Pembentukan jaringan di sekolah-sekolah sudah selesai 2 tahun yang lalu. Kabel TI juga sudah dipasang. Sekolah-sekolah telah mempunyai laboratorium komputer atau ruang multimedia, dan sekarang sedang dibangun ‘Pusat Informasi’. Infrastruktur untuk penerapan TIK dalam pendidikan merupakan prioritas pertama di dunia dewasa ini. Sebagai contoh sekolah Pil-ja (Sekolah Dasar Me-sung Seoul utama), di sana terdapat bermacam-macam cara untuk menerapkan metode mengajar. Salah satu yang paling penting ialah situs Internet dengan membayar atau cuma-cuma bagi guru yang menerapkan TIK. Dewasa ini informasi Internet (cyber) untuk setiap buku teks sudah cukup mapan yang dapat memberikan informasi, misalnya tentang penggunaan dan metode-metode yang sudah mulai digunakan oleh banyak guru. CD-ROM adalah sarana kedua yang paling sering digunakan. Sekarang kecenderungan mendapatkan bahan pengajaran mulai dari peta dinding, slide, TP sampai ke pita video dan CD-ROM. Bahan-bahan auditorial sekarang mulai ketinggalan jaman (kuno). Tergantung pada masing-masing sekolah atau guru, homepage sekolah atau papan buletin untuk setiap tingkat kelas sudah digunakan. Beberapa proyek kerjasama juga sudah dilakukan melalui penelusuran informasi melalui Internet. Di dalam jaringan sekolah, guru-guru menyediakan informasi tentang Internet atau kurikulum mereka. Namun demikian, jikalau penerapan TIK dilakukan hanya karena kecenderungan (trend) umum atau karena guru-guru diharuskan melakukannya, maka hal itu hanya akan merupakan gejala latah saja dan akan terjadi suatu ‘Dampak Balik dari Pengajaran’ ('Reverse Effect of Teaching'). Saya selalu katakan dalam seminar-seminar saya bahwa setiap penerapan media harus dilakukan atas dasar suatu konsep yang jelas. Penerapan TIK di kelas tidak boleh lebih dari 5 menit untuk setiap konsep atau topik bahasan. Meskipun dalam kurikulum, misalnya, ada alokasi satu jam untuk penerapan TIK, harus dijaga jangan sampai terjadi suatu ‘pelajaran mengklik’ ('clicking class'). Sebaiknya kurikulumnya dimodifikasi dahulu demi meningkatkan penerapan TIK.
Kelas Seorang Seniman Yang Mengaplikasikan Karyanya Sendiri
Beberapa tahun yang lalu saya mengunjungi Nagoya, Jepang, dan mendapatkan kesempatan menyaksikan sebuah kelas yang terbuka untuk umum. Kelas itu sedang mengajarkan pokok bahasan dari buku teks Geografi berjudul ‘Bab tentang Oceania’. Suatu kelas biasa yang menggunakan buku-buku teks dan peta. Akan tetapi pengenalan tema kepada siswa di awal pelajaran dan pemahaman guru atas tema ini dengan membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok untuk mendiskusikan topik tersebut adalah suatu keterampilan tersendiri yang dimiliki guru. dalam pelajaran ini guru menempatkan siswa-siswa dalam kelompok-kelompok belajar. Mereka meneliti permasalahan seperti industri, perhubungan, budaya, dan sebagainya yang berkaitan dengan tema-tema mereka masing-masing dan harus menuliskannya pada suatu TP. Di akhir pelajaran, ketua dari setiap kelompok (tim) menyajikan TP dari kelompoknya dalam format penyajian OHP. Guru memberikan tambahan penjelasan dan komentar tentang kualitas, tetapi ketika siswa sedang menjelaskan guru sama sekali tidak menginterupsinya. Setelah setiap tim selesai mempresentasikan, guru memperlihatkan TP yang dia buat sendiri, yang tidak merupakan hal yang luar biasa, dan pelajaran selesai. Penilaian untuk pelajaran itu tidak ada bedanya dengan cara-cara guru-guru Korea melakukan penilaian. Guru melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri, komentar-komentar dibuat tentang kualitas, dan kepala sekolah memberikan beberapa komentar berkenaan dengan cara bagaimana seharusnya guru mengajar. Setiap orang setuju bahwa kelas tersebut menonjol dan puas dengan apa yang mereka saksikan, akan tetapi saya mempunyai satu pertanyaan dan saya tanyakan kepada guru yang mengajar pelajaran tersebut. Saya tanyakan mengapa guru menggunakan bahan yang kurang bermutu yang dia buat sendiri dan bukannya bahan yang bisa dibeli; apalagi jenis bahan semacam itu mudah didapat di Jepang. Guru tersebut dengan serius menjawab pertanyaan saya sebagai berikut. Dia yakin bahwa suatu pelajaran di kelas adalah merupakan suatu hasil karya seni yang mengalahkan batas waktu dan tempat. Sebuah karya seni diciptakan sedemikian rupa, sehingga walaupun sama dengan suatu bab dalam buku teks, namun tidak akan merupakan pelajaran yang sama persis. Jika dia menggunakan TP yang bisa dibeli, maka pelajaran itu akan menjadi tiruan dari sesuatu, bukan asli (orisinil). Untuk apa yang dia katakan itu saya menyanjungnya dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang ‘seniman sejati’.

Dewasa ini sudah banyak pelajaran di kelas yang menerapkan TIK, tetapi media yang digunakan dibuat oleh spesialis di bidangnya (mata pelajaran) atau bahan-bahan yang ada di pasaran yang belum dibuktikan kesesuaiannya. Kita sudah terbiasa mencari cara penyelesaian masalah dengan jalan yang paling mudah. Jika kita ingin menggunakan media TIK, khususnya media cyber, dalam pelajaran di kelas kita seharusnya mencarinya terlebih dahulu atau menciptakan apa yang kita perlukan dengan jalan mengumpulkan bahan-bahan yang berhubungan dengan pelajaran dimaksud. Di masa lalu, guru-guru membuat peta, berkas (files), dan kaset (tapes) sendiri untuk keperluan kelasnya. Meskipun guru-guru mungkin belum terbiasa dengan hal itu, kita perlu membuat bahan sendiri untuk media TIK. Walaupun banyak guru yang mengalami kesulitan memahami komputer dalam waktu singkat, sekarang tibalah waktunya bagi kita untuk menguasai dan meningkatkan keterampilan kita sendiri tentang media. Saya percaya bahwa setiap guru ingin belajar bagaimana menggunakan setidak-tidaknya satu alat (power point, flash, director, photo bank, dsb.) dalam membuat bahan untuk penerapan TIK. Bahan tersebut tidak harus canggih atau mentereng, tetapi bila guru sudah bisa membuat bahan sendiri untuk keperluan kelasnya, maka dia akan dapat mengajarkannya dengan cara yang paling efektif dan pelajaran itu tidak harus menjadi pelajaran dari seorang ‘seniman yang agung’.
▶ Cho Sung-sun(sunsky39@hanmail.net)/ director of TIK Educational Institute(Former Seoul Sungcho Elementary School Principal)